Menyelami Jejak Sejarah Nasi Tumpeng

Nasi tumpeng adalah salah satu hidangan ikonik di Indonesia. Sajian nasi berbentuk kerucut dan dikelilingi berbagai macam lauk-pauk ini memang cocok untuk dimakan bersama-sama. Tak ayal, kehadirannya tidak pernah terlewatkan dalam berbagai perayaan. Meski Nasi Tumpeng sangat populer, masih banyak orang Indonesia yang belum tahu mengenai sejarah Nasi Tumpeng hingga bisa menjadi hidangan legendaris seperti sekarang, lho!

Melalui artikel ini, Explorasa akan menceritakan kisah lengkap Nasi Tumpeng dan perkembangannya dari zaman Jawa kuno hingga modern. Yuk, baca artikel ini sampai habis, ya!

Dari Mana Asal Nasi Tumpeng?

Menurut buku Serba-serbi Tumpeng oleh Murdijati Gardjito dan Lilly T. Erwin, hidangan Nasi Tumpeng pernah disebutkan di dalam beberapa karya Jawa kuno seperti naskah Ramayana, naskah Arjuna Wijaya, dan Kidung Harsa wijaya. Naskah-naskah ini menyebutkan bahwa Nasi Tumpeng selalu dihidangkan dalam berbagai peristiwa makan bersama (bancakan).

Bisa disimpulkan, hidangan satu ini telah ada sejak era Jawa kuno dan merupakan hidangan yang populer di pulau Jawa dan sekitarnya (Madura dan Bali). Namun, belum ditemukan sumber pasti yang menjelaskan mengenai kali pertama Nasi Tumpeng dibuat dan disajikan sebagai hidangan.

Apa Arti Nama Tumpeng?

Pengertian kata Tumpeng dapat ditelaah melalui dua cara. Secara etimologis, kata tumpeng berasal dari kalimat Bahasa Jawa “tumapaking panguripan-tunindak lempeng-tumuju Pengeran”, yang memiliki arti “tertatanya hidup-berjalan lurus-kepada Tuhan” (Murdijati Gardjito dan Lilly T. Erwin, 2010). Berdasarkan fakta ini, kita tahu bahwa masyarakat Jawa kuno percaya bahwa hidup itu harus berjalan sesuai dengan kehendak Tuhan.

Secara terminologis, Tumpeng dapat diartikan sebagai hidangan tradisional yang disajikan dalam ritual sesajen dalam tradisi masyarakat Jawa. Lalu, dalam kamus Bahasa Jawa, kata tumpeng dijelaskan sebagai “sega diwangun pasungan kanggo selametan”, yang berarti “nasi yang dibangun seperti gunung untuk acara selametan”.

Makna Nasi Tumpeng bagi Masyarakat Jawa Kuno

Nasi Tumpeng adalah hidangan dengan umur yang sangat tua. Menurut berbagai sumber, Nasi Tumpeng sudah disajikan sejak masyarakat Jawa masih menganut kepercayaan Kapitayan, agama asli masyarakat Jawa kuno. Kepercayaan Kapitayan telah ada jauh sebelum pengaruh Hindu dan Buddha memasuki nusantara. Pada masa ini, masyarakat Jawa menyembah Sanghyang Taya.

Sanghyang Taya seringkali diasosiasikan dengan dua sifat, yakni Tu dan To, atau dengan kata lain kebaikan dan ketidakbaikan. Sifat Tu dipercaya ada di dalam berbagai benda dengan unsur nama Tu. Karena itulah, masyarakat Jawa kuno sering menggunakan Tumpeng sebagai perantara untuk menyampaikan bentuk pemujaan dan rasa syukur terhadap berkah yang diberikan oleh Sanghyang Taya. 

Pada zaman ini, Tumpeng yang digunakan sebagai sesajen belum berbentuk kerucut seperti sekarang.

Pengaruh Budaya Hindu dan Buddha Terhadap Tradisi Tumpengan

Pada abad ke-5 Masehi, agama Hindu dan Buddha mulai memasuki tanah Jawa. Hal ini membawa beberapa perubahan, termasuk pergeseran nilai-nilai kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Jawa. Salah satunya adalah tradisi penyajian Tumpeng.

Dalam kepercayaan Hindu, gunung dianggap sebagai awal mula dari seluruh kehidupan. Selain itu, ajaran Buddha mengenalkan konsep kosmos (alam raya). Bentuk gunung yang meruncing dipercaya sebagai titik pusat alam raya tempat para dewa-dewi tinggal. Oleh karena itu, gunung-gunung di tanah Jawa, terutama gunung Mahameru, sangat disakralkan pada masa ini.

Kepercayaan ini memberi pengaruh yang besar pada Tumpeng. Masih digunakan sebagai sesajen dalam ritual penyembahan kepada gunung, penampilan Tumpeng pada masa Hindu-Buddha mengalami perubahan. Seperti bentuk nasi dalam sajian Tumpeng menjadi berbentuk kerucut menyerupai gunung Mahameru yang sangat dihormati.

Selain bentuk nasi yang berubah, penggunaan warna dominan dalam Tumpeng juga mendapat pengaruh dari ajaran Hindu. Warna kuning atau putih digunakan karena kedua warna ini sering dihubung-hubungkan dengan Dewa Matahari, Indra. Selain itu, warna kuning dalam Nasi Tumpeng juga melambangkan harapan akan rezeki dan kemakmuran.

Perkembangan Nasi Tumpeng di era Islam

Ketika ajaran Islam mulai memasuki tanah nusantara, pengaruhnya tidak serta merta merubah kepercayaan seputar Tumpeng di kalangan masyarakat Jawa. Pergeseran nilai-nilai kepercayaan baru terjadi pada abad 15 hingga 16 Masehi, ketika para Wali Songo mulai berdakwah di Jawa.

Wali Songo melakukan islamisasi melalui akulturasi budaya dan berhasil menyebarkan ajaran agama Islam di Jawa dengan sangat pesat. Sejak saat itu, masyarakat Jawa tidak lagi melihat Tumpeng sebagai sesajen sakral yang mengandung kekuatan seperti dalam ajaran Kapitayan dan Hindu-Buddha. Masyarakat Jawa melihat Tumpeng sebagai bentuk tradisi kebudayaan dan disajikan dalam perayaan untuk dimakan bersama sebagai bentuk rasa syukur.

Hingga saat ini, Nasi Tumpeng hampir selalu bisa ditemukan di perayaan-perayaan. Tradisi potong Tumpeng tidak lagi hanya dilakukan oleh masyarakat Jawa, tapi juga masyarakat di daerah lain di Indonesia. Bentuk dan warna nasi pun mulai bervariasi, mengikuti tema perayaan dan kreatifitas pembuatnya. Kini, Nasi Tumpeng menjadi salah satu dari 30 ikon kuliner di Indonesia karena popularitasnya yang tinggi serta sejarah panjang yang melekat dalam namanya.

Begitulah ulasan singkat mengenai sejarah Nasi Tumpeng. Sekali lagi, kita harus mengingat bahwa hidangan Tumpeng yang biasa kita nikmati merupakan hidangan asli nusantara yang sudah menemani leluhur kita sejak dulu kala. Nasi Tumpeng juga mengalami berbagai perubahan dan berkembang bersama budaya-budaya di tanah air. Jadi, kita harus menjaga dan melestarikan ikon kuliner Indonesia yang satu ini, ya!

Jika kamu menyukai artikel ini, share juga ke teman-teman kamu ya :)
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments